UN Amburadul: Pak Mendikbud, Ajarkan Kami Bersikap Ksatria
UN Amburadul: Pak Mendikbud, Ajarkan Kami Bersikap Ksatria
PILKOM - Tanyakan pada rakyat
Indonesia, bagaimana pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun ini? Gagal! Paling
tidak, itulah kata yang cukup mewakili penilaian masyarakat yang muncul di
media massa.
Tanyakan pada
Mendikbud, Mohammad Nuh, mengapa UN 2013 berlangsung amburadul? “Mohon maaf!”.
Sederet alasan keluar, kemudian ditutup dengan permohonan maaf yang terkesan
sangat memelas, seolah meminta pengertian dari seluruh rakyat Indonesia.
Bahwa UN yang telah
berlangsung selama ini sudah selayaknya dihapus dalam sistem pendidikan
nasional kita telah banyak disuarakan oleh para guru, pemerhati pendidikan dan
komponen publik lainnya.
Singkatnya, UN yang
dianggap telah merampas hak guru dan sekolah sebagai penentu evaluasi kelulusan
peserta didik telah terbukti lebih banyak menimbulkan dampak negatif
dibandingkan manfaat positif yang dapat diraih dari gelaran proyek nasional
bernilai sekitar Rp 560 miliar per tahun itu.
Namun demikian, setiap
tahun pula, dengan berjuta alasan, Mendikbud beserta jajarannya terus membela
mati-matian proyek yang mengatasnamakan demi kepentingan meningkatkan mutu
pendidikan di seluruh tanah air itu.
Masihkah Arogan?
Agaknya, mata mereka
telah buta, dan telinganya pun telah pekak! Bahwa mayoritas rakyat Indonesia
menghendaki agar sistem UN yang berlaku saat ini minimal harus ditinjau ulang,
untuk tidak mengatakan harus dihapus secara total.
Tampaknya, arogansi
mereka telah berlebihan sehingga dengan mudah akan menuding mereka yang kontra
UN sebagai pihak yang tidak pro peningkatan mutu pendidikan nasional. Bahwa
mereka yang mengungkap adanya kecurangan secara sistematis, massal dan
struktural pada pelaksanaan UN dinilai sebagai kelompok orang yang semata
mencari sensasi murahan.
Pendeknya, mereka yang
mengkritisi UN akan dengan mudah dicap sebagai orang yang tidak berpikir obyektif
dan tidak bernilai akademik. Selanjutnya, mereka dilabeli dengan orang-orang
yang hanya memiliki muatan kepentingan politik tertentu, sehingga layak pendapatnya
untuk diabaikan begitu saja.
Kini, ketika
pelaksanaan UN gagal dilakukan serentak secara nasional, penundaan UN yang
berlangsung lebih dari sekali di sejumlah daerah, distribusi naskah UN yang
salah alamat, kualitas kertas lembar jawaban yang sangat buruk, naskah soal
yang dihalalkan untuk difotokopi, lantas masihkah ada alasan dan arogansi yang sama dengan gagah berani hendak dipertontonkan
kembali di hadapan publik?
Kini, ketika
kebobrokan manajemen penyelenggaraan UN itu mulai terus terkuak, mulai dari
proses lelang proyek yang dituding LSM banyak bermasalah, hingga sistem
pengajuan anggaran Kemdikbud yang dinilai buruk, karena hanya 15% saja yang dinilai
oleh Kemenkeu memenuhi persyaratan, sehingga 85% sisanya telah menyebabkan
tersendatnya sejumlah proyek, termasuk UN, maka masih adakah legitimasi moral itu terus
didengungkan, atas nama mutu dan profesioalisme pendidikan nasional?
Pak Mendikbud, di
manakah keyakinan dan jaminan bapak yang selama ini terkesan petantang-petenteng
bahwa UN, Kurikulum 2013, UKA, UKG, pencairan tunjangan sertifikasi guru, dan
lain-lain akan berlangsung beres, tepat waktu, dan aman-aman saja?
Fakta-fakta itu tidak
dapat dibantah lagi Pak! Implementasi Kurikulum 2013 nyaris diambang beratakan,
UKA 2013 molor, pelatihan guru pasca UKG tidak jelas, pembayaran tunjangan
sertifikasi yang masih terus tersendat, kini UN pun menorehkan catatan terburuk
sepanjang pelaksanaan ujian negara di republik ini.
Masihkah, Pak Nuh
mengulangi kembali bahwa semua itu adalah kesalahan dari pihak lain? Salah di
pihak pemerintah daerah lah, pihak Kemenkeu lah, pihak DPR lah, atau entah
siapa lagi yag akan menjadi kambing hitam atas setiap kesalahan kebijakan dan kekurangan
manajemen Kemdibkbud. Termasuk, baru-baru ini bapak mulai melemparkan tanggung
jawab amburadulnya UN ke institusi Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)?
Jujurlah
Pak Menteri, kini
saatnya bapak untuk menajamkan hati nurani, bukan malah terus membesarkan arogansi.
Saatnya berlaku jujur untuk bersedia melakukan introspeksi diri, bahwa banyak
hal suara masyarakat yang selama ini diabaikan, termasuk soal keberatan atas
pelaksanaan UN.
Kembalikan pelaksanaan
sistem evaluasi belajar serta penentu kelulusan siswa kepada yang berhak, yakni para guru yang berada di satuan
pendidikan bersangkutan. Kembangkan sistemnya, arahkan dan kontrol mereka untuk
dapat menghindari terjadinya praktek kecurangan yang sama.
Pemetaan dan kontrol
mutu pendidikan nasional memang perlu, tapi tidak perlu pula berlaku UN seperti
selama ini yang menjamah hingga ke ranah alat penentu kelulusan. Pun, saat ini
bobot penentu kelulusan UN tinggal 60 persen. Ekses negatif yang tidak perlu
itu masih terus terjadi.
Untuk mengetahui pemetaan
mutu pendidikan nasional, bukankah dapat dilakukan pula melalui penelitian yang
diperuntukkan khusus untuk kepentingan itu?
Tentu, hasilnya akan
jauh lebih baik dan lebih akurat dengan jangkauan item persoalan yang lebih
luas dan mendalam, termasuk soal mutu prestasi siswa, mutu guru, kelengkapan
sarana dan prasarana sekolah, dan lain-lain, dibandingkan dengan hasil UN yang
relatif hanya lebih banyak mencakup aspek kognitif siswa saja.
Aspek afektif,
termasuk di dalamnya aspek pendidikan
karakter siswa yang selama ini didengung-dengungkan oleh Pak Menteri,
tentu akan jauh dari pengamatan radar bernama UN.
Publik Menunggu
Kini, pendidikan
karakter secara konkrit dari seseorang yang bertanggung jawab penuh atas
penyelenggaran pendidikan nasional itu ditunggu oleh publik. Kita akan
menunggu, masihkah akan berlaku adagium “perbuatan itu jauh lebih sulit dari
sekedar ucapan kata-kata, terutama yang terkait dengan dirinya sendiri?”
Alhasil, kita menunggu
pelajaran mengenai pendidikan karakter yang terbaik dari seorang Mendikbud,
yakni bagaimana implementasi dari cara bersikap dan berjiwa ksatria ketika
tugas dan tanggung jawab itu dinilai oleh publik telah gagal dilaksanakan.